Huta bukanlah desa atau kampung dalam arti yang kita pahami sekarang.
Huta adalah persekutuan hukum dan adat terkecil. Huta merupakan tempat
tinggal mereka yang berasal dari satu ompu, satu moyang, dengan atau
tanpa boru. Jadi berdasarkan keturunan dan perkawinan.
Dalam soal
ini harus dibedakan pengertian huta dari pengertian etnografis dan
administratif. Yang menyulitkan pengertian huta ialah bahwa orang
mencoba mempergunakan pengertian administratif kepada huta Batak.
Terutama setelah pengertian kampung atau desa dengan kelurahan menjadi
jelas dan diberlakukan sebagai dasar pengertian umum kampung di
Indonesia.
Ini sulit diterapkan di Tanah Batak. Pengertian desa
atau kelurahan sudah bersifat administratif, sedang huta Batak bersifat
etnografis, berdasarkan keturunan atau kekerabatan. Desa biasa ditempati
orang-orang yang bukan kerabat, tetapi huta Batak ditempati orang yang
satu marga, bersama atau tanpa boru.
Penggambaran wilayah huta
adalah suatu lapangan kecil berbentuk empat persegi dengan halaman
bagus, keras dan kosong ditengahnya–tengahnya. Disatu sisi empat bidang
persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah (ruma) berbaris,
masing-masing rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang
. Didepan barisan rumah ada lumbung padi (sopo).
Jaman dahulu huta Batak
dikelilingi parik (tembok terbuat dari tanah atau batu) yang tingginya
sampai 2 meter dan lebar 1 meter. Kalau terbuat dari tanah maka di
atasnya ditanam pohon bambu. Kalau dari batu, maka dibagian luar parik
ditanam juga bambu. Gunanya sebagai benteng, melindungi huta dari
serangan musuh.
Dari penggambaran tersebut, tampak adanya
kehidupan suatu kelompok/kesatuan terkecil masyarakat Toba yang mampu
mengatur dirinya sendiri. Di dalam rumah tinggal beberapa keluarga
dengan anak-anak mereka. Kalau anak-anak perempuan mulai beranjak dewasa
maka si gadis akan tinggal di sopo.
Huta dipimpin oleh ‘Raja huta’
keturunan dari marga pionir pendiri huta. Marga pendiri huta disebut
marga raja atau marga tano. Dalam hal ini hanya marga raja yang berkuasa
atas tanah. Marga-marga lain yang juga tinggal di huta dinamakan marga
boru. Mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah.
Dalam blog Sianturi Mandosiraja
disebutkan bahwa, bisa terjadi marga raja itu membawa juga boru-nya
(pengambil istri marga raja) bersama-sama mendirikan huta itu dahulu
(rap manombang) sehingga ia adalah juga Raja Huta dan bagian dari
pemilik huta. Terbuka peluang orang luar yang datang kemudian menjadi
warga, dan diberi hak garap atas sebidang lahan pertanian karena
mengawini putri dari marga raja/partano. Ia disebut ‘parripe’, pendatang
yang diberi status marga boru. Demikian setiap pendatang selalu
berstatus marga boru sehingga mendapat status sebagai warga sesuai
prinsip dalihan natolu.
Raja huta menyelesaikan masalah-masalah
(kecil) antar keluarga warga huta, membagi lahan garapan bagi
keluarga-keluarga, menyelenggarakan perkawinan dengan warga dari huta
lain, mewakili huta keluar dsb. Status Raja huta turun-temurun kepada
anak sulung. Ia adalah pengayom adat, hak ulayat (golat) dan pemimpin
sekuler (soal-soal duniawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar