pengunjung

Jumat, 23 September 2011

Identitas “Batak” Dalam Konteks Etnisitasnya by Jones GultoM

BICARA tentang “Batak” sebagai identitas etnik, memang cukup kompleks. Dari asal-usul penyebutan kata “Batak” saja, sudah beragam serta sering menuai kontroversi. Tetapi hampir secara umum, menyebutkan bahwa kata “Batak” merupakan stereotif negatif yang dilabelkan oleh orang non “Batak” terhadap sebuah kelompok masyarakat yang berdiam di ...tempat tertentu. Dr. H.N. Van der Tuuk (1824-1894) misalnya. Dalam setiap tulisannya, ia cenderung mengartikan “Batak” sebagai masyarakat komunal yang barbar. Tendensi yang dikesankan Van der Tuuk, bagaimanapun tak lepas dari tujuannya sebagai misioner-kebudayaan. Jauh sebelumnya dalam “The History of Sumatera” karya William Marsden (1754 – 1836) yang diterbitkan tahun 1784 juga memaknai “Batak” sebagai kata yang mempresentasikan sejumlah perilaku negatif atas sebuah kelompok masyarakat di satu wilayah di pedalaman Sumatera. Bahkan Marcopolo yang juga sempat menyinggahi Barus pada abad ke-12, sempat pula memberikan komentar, bahwa ada sekelompok masyarakat di pedalaman hutan Sumatera, (mungkin maksudnya hulu Barus) yang terkenal keji, suka berperang dan barbar. Kelompok orang ini disebut “Betach” yang kemudian disebut “Batak” Dalam arti, “Batak” dengan beragam penyebutannya itu, sudah berkembang jauh sebelum kedatangan Kolonial Belanda (abad 16). Ini sekaligus mematahkan tesis yang mengatakan penamaan “Batak” awalnya diberikan oleh Belanda. Jauh ke belakang, kata “Batak” sendiri sudah disebut-sebut ejak abad ke-6, ketika Barus dimasuki pedagang dan khalifah Islam, kemudian berkembang menjadi Imperium Sumatera. Di buku “Sejarah Raja-Raja Barus” karangan Jane Drakard, dituliskan bahwa Kerajaan Hulu Barus (berdiam di lembah sebelah barat) secara sosial dekat dengan masyarakat yang disebut “Batak”. Dikatakan pula, kelompok masyarakat “Batak” ini adalah masyarakat komunal yang sudah memiliki sistem sosial dan adat yang mapan. Sementara Kerajaan Hilir Barus yang terletak di pesisir itu, menjalin relasi sosial dengan kebanyakan pendatang dengan tujuan dagang. Buku “Sejarah Raja-Raja Barus” bercikal dari dua sumber, yakni; Kronik Hulu dan Kronik Hilir. Bahwa benar, sering terjadi peperangan antara kedua kerajaan tersebut. Namun dalam situasi tertentu justru mereka bergabung untuk menghadapi musuh bersama, misalnya melakukan perlawanan dengan Kerajaan Aceh. Pada akhirnya, bahkan kedua kerajaan ini bersatu. Pertanyaannya, darimanakah muasal stereotif negatif itu muncul? Benarkah kelompok masyarakat yang dikatakan Van der Tuuk, Marsden dan Marcopolo adalah masyarakat yang sama dengan yang di abad ke-6 itu? Kalau benar, peristiwa apakah yang terjadi, (rentang abad ke-6 sampai 12) sehingga merubah pola laku kelompok masyarakat “Batak” itu. Saya kira, masyarakat “Batak” telah mengalami sejumlah persoalan yang kompleks sebagai imbas dari kemelut ekonomi, politik dan agama yang terjadi, jauh sebelum masa kolonialisme. Analisis menarik lainnya diungkapkan beberapa antropolog lokal, salah satunya. Bungaran Simanjuntak. Menurutnya, etnis “Batak” merupakan ras Mongolia Mansuria. “Awalnya kurang lebih 5000 tahun lalu, tentara Mongol berperang dengan bangsa Tar-tar, terpojok dan kemudian lari menuju Indonesia Bagian Timur melalui China. Para tentara Mongol ini pada saat itu mengendarai kuda, dan masyarakat di daerah Indonesia Bagian Timur (saat itu belum beretnis Batak) menamai tentara Mongol ini dengan ’Batak.’ Itulah awal nama etnik Batak.” Dengan kata lain, asal-usul nama etnik “Batak” itu menurut Bungaran, merupakan hasil dari budaya maupun sejarah di Sumut. “Batak merupakan satu kata dari bahasa Batak sendiri yang artinya penunggang kuda. Dari sisi inilah nama Batak ini muncul. Berbeda dengan Bungaran, ada satu tulisan yang terbit di surat kabar Immanuel edisi 17 Agustus 1919. Dalam tulisannya, penulis dengan inisial “JS” mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1903 (halaman 64) menulis: “Adapoen bangsa yang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa “Batak” namanya. Adapoen kata “Batak” itoe pengertiannya : oerang pandai berkuda. Masih ada kata “Batak” yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan) kepada bangsa itoe…” Kata; “bangsa itoe”, boleh jadi sebagai ejekan yang diberikan oleh orang di luar masyarakat “Batak” itu sendiri. Beda pendapat dikemukakan oleh Sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Phill Ichwan Azhari, yang menyampaikan hasil penelitiannya di Jerman terkait etimologi (asal-usul kata) dan genealogi (asal-usul garis turunan) Batak. Menurut Ichwan, Batak bukan berasal dari Batak sendiri, tapi dikonstruksi para musafir barat dan dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Saat Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda. Menurutnya, konsep Batak dari misionaris Jerman semula digunakan kelompok masyarakat di kawasan Tapanuli Utara, tapi lebih lanjut dipakai Belanda menguatkan cengekraman ideologi kolonial Definisi masyarakat Batak, dipertegas dalam buku Daniel Perret, “Kolonialisme dan Etnisitas; Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut”. Semua istilah Batak dicatat dalam tanda petik dan identifikasi “Batak” dalam setting kolonial waktu itu merupakan bagian dari dikotomi antara Melayu yang dianggap beradab melalui Kesultanan dan Keislamannya dan posisi orang-orang “Batak” yang belum menganut Islam yang dianggap stereotip dari orang-orang yang tidak beradab. Habitus Baru Menurut dugaan saya, tekanan yang dialami masyarakat “Batak” di berbagai fase sejarahnya itu, menyebabkan kelompok masyarakat ini kemudian bergegas mencari kehidupan baru. Merosotnya Barus di kemudian hari, akibat intervensi politik-ekonomi oleh Kerajaan Aceh maupun Pagaruyung, setelah abad ke -6 itu, menyebabkan kelompok masyarakat ini hijrah mencari tempat dan penghidupan baru. Saya menduga mereka pergi melalui jalur Pantai Barat hingga sampai ke Dolok Sanggul. Dan dari Pantai Timur menuju Silindung. Kemudian dua wilayah ini menemukan sentralnya di Balige. Sementara Pulau Samosir sendiri menyusul kemudian, terutama setelah transportasi air diciptakan oleh Belanda dan berkaitan erat dengan misi Katolik. Hal ini sejalan dengan historis yang dijelaskan dalam Kronik Hilir. Tapi dugaan ini luntur akibat mitologi penciptaan orang “Batak” dengan kiblatnya Pusuk Buhit. Mitologi ini menjadi sumber yang dipakai dalam Kronik Hulu. Bahwa kelompok masyarakat “Batak” sudah ada jauh sebelum kejayaan Barus. Mereka tinggal di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan di persekitaran Danau Toba. Jadi sejak semula kisah, masyarakat “Batak” memang sudah tercipta atas 2 opsi tersebut. Simpang siur muasal ini boleh jadi mendorong sejumlah pemikir kebudayaan membuat semacam regalia untuk dijadikan patokan, salah satunya memberlakukan konsep Dalihan Na Toli ( DNT) yang menurut Peneliti Universitas Leiden Belanda, Johann Angerler, baru muncul dan berkembang pesat pada tahun 1950-an. Menurut Johann konsep itu telah digunakan pada institusi Bataks Studiensfonds yang merupakan perhimpunan Batak di Kotanopan. Tetapi pada saat itu, konsep tersebut masih kurang akrab dengan orang Toba.” Barulah setelah era kemerdekaan konsep itu sangat populer. Demikian pula dengan penggunaan konsep Tarombo (silsilah) yang baru muncul pada tahun 1920-an yakni berupa adanya pencatatan silsilah orang Batak Toba. Jika merujuk pada keyakinan Parmalim, DNT sebenarnya sudah lama ada, yang dirintis oleh Raja Uti. Cikalnya berasal dari konsep “Suhi Na Ampang Na Opat.” Dalam Suhi Na Ampang Na Opat” ditambahkan satu unsur lagi dari DNT, yakni “Hormat Maraja”. Menurut keyakinan Parmalim, seperti tertulis dalam buku “Agama Malim di Tanah Batak” oleh Prof. Ibrahim Gultom, pencopotan unsur “Hormat Maraja” itu dilakukan oleh Belanda untuk mengurangi kekuasaan raja sehingga mempermudah kolonialisasi. Meski begitu DNT bukanlah jaminan penanda orang Batak. Bagaimana dengan orang-orang Batak yang menikah dengan orang di luar sukunya. Tentu prinsip DNT tak berlaku kepadanya. Tarombo Batak yang diberlakukan juga justru sering menuai kontroversi, terutama oleh sub Batak (di luar Toba) yang menolak klaim atas marganya. Kemudian kelompok ini menguatkan diri sekalian menolak disebut sebagai “Batak” seperti yang ditunjukkan Mandailing dan Karo. Penolakan (denial) itu tentu saja memengaruhi wilayah administrasi “Batak” yang dulu sempat dipetakan oleh pemerintah Belanda sebagai “Bataklanden” yang mencakup seluruh wilayah Tapian Nauli. Atas berbagai keadaan ini, menurut saya memang sudah perlu dirumuskan sebuah konsensus baru terhadap “Batak” menyangkut identitas-etniknya. Sebab, bagaimanapun historis pembentuknya tak lepas dari kepentingan berbagai pihak. Sementara, saat ini kita membutuhkan “Batak” yang kuat, mengakar dan mencerahkan! (Analisa, 7 Agustus 2011, Penulis pekerja seni, media, dan budaya. https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150381278551830 Disampikan dalam diskusi Forum Sisingamangaraja XII, Medan, 30 Juli 2011)

Tidak ada komentar: