Kehidupan Suku Batak
Sejarah masuknya agama Kristen pada suku Batak adalah sejarah yang menceritakan masuknya injil dan konteks perkembangannya sekitar tahun 1820an hingga berdirinya Huria Kristen Batak Protestan(HKBP).[1]
Daftar isi
[sembunyikan]
* 1 konteks kehidupan suku batak sebelum injil masuk
* 2 masuknya penginjil ke tanah batak
o 2.1 penginjil utusan pekabaran injil baptis Inggris
o 2.2 penginjil utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
o 2.3 penginjil utusan Rheinische Missions Geselschaf
* 3 perkembangan kekristenan setelah injil masuk
* 4 Lihat pula
* 5 Referensi
[sunting] konteks kehidupan suku batak sebelum injil masuk
Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya, mereka memegang teguh tradisi dan adat.[1] Pada masa lampau orang batak tidak suka terhadap orang luar (Barat/’’sibottar mata’’) kerena mereka dianggap sebagai penjajah.[2] Selain itu, ada paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa itu sering terjadi perang antar suku-suku.[2] Sebelum Injil masuk, suku Batak adalah suku penyembah berhala. Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi.[2] Ada banyak nama dewa atau begu(setan) yang disembah, seperti ‘’begu djau’’ (dewa yang tidak dikenal orang ), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu siherut(dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit),dll.[3]
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang.[4] Hasil dari perternakan dan cocok tanam mereka jual ke pasar pada hari tertentu.[4] Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau dll.[4] Keadaan yang dinamis ini sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun.[4] Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja Si Singamangaraja yang berada di Bakkara.[4] Raja Si Singamangaraja pun datang dan melakukan upacara untuk menolak bala dan kehancuran. Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat.[4] Mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, kemudian menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.[4]
masuknya penginjil ke tanah batak
penginjil utusan pekabaran injil baptis Inggris
Pada tahun 1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan Ward, Evans dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menjumpai Raffles.[5] Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak yang masih kafir.[5] Burton dan Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi, yakni Silindung-wilayah suku Batak Toba.[6] Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk.[6] Penduduk salah menafsir khotbah penginjil tersebut yang mengatakan kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini maka para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.[6]
[sunting] penginjil utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
Kemudian tahun 1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston masuk ke Sumatera.[6] Pada 17 Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Kemudian 23 Juni 1834 mereka berangkat menuju pegunungan Silindung.[6] Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, malam hari 28 Juni 1834 mereka dihadang, ditangkap dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuh penginjil tersebut adalah Raja Panggalamei (Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak) bersama dengan rakyatnya.[6]
[sunting] penginjil utusan Rheinische Missions Geselschaf
Tahun 1840 seorang ilmuan berkebangsaan Jerman F. Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak.[4] Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk (tuan yang berkecukupan).[4] Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali.[4] Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya.[4] Van der tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya.[4] Untuk menunjang masukannya tersebut, ia menyusun sebuah kamus, mengumpulkan cerita, pribahasa, dan menerjemahkan Injil dan beberapa bagian Alkitab ke dalam bahasa Batak.[4] Tahun 1857 pekabar Injil G Van Asselt utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda melakukan pelayanan di Tapanuli.[4] Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani, pada 31 Maret 1861 dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar.[4] Tahun ini juga, tepatnya 07 Oktober 1961 diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yaitu Pdt. Heine, Pdt. Klemmer,(pendeta Jerman) dan Pdt. Betz, dan Pdt. Ansselt(Pendeta Belanda) untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische Missions Geselschaf.[4] Hari ini dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).[4]. Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918) tiba di Padang pada tahun 1862.[4] Ia menetap di Barus beberapa saat untuk belajar bahasa dan adat Batak dan Melayu.[4] Ia tiba melalui badan Misi Rheinische Missions Geselschaf.[4] Kemudian tahun 1864 ia masuk ke dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).[4]
Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya.[4] Pada awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat.[4] Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban.[4] Saat itu, Sibaso(Pengantara orang-orang halus) sesudah kerasukan roh menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang banyak: Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunanya! Segera Sibaso jatuh ke tanah. [4] Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya.[4] Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan raja batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak belanda.[4]
[sunting] perkembangan kekristenan setelah injil masuk
Suku Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamanya karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu [[Huta Dame]] (kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian 1881 jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918 sudah tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Tahun 1881 Nommensen diangkat menjadi menjadi Ephorus oleh RMG, jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal 23 Mei 1918. Suku batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan ‘’Ompunta’’ (Nenek Kita), gelar ini memposisikan Nommensen sama dengan Si Singamangaraja atau tokoh sakti lainya.
LIHAT segala sesuatu dan jadikan MAKNA yg BERARTI dalam HIDUP mu belajar dari setiap perjalanan hidupku mencoba bangkit dari JUTAAN COBAAN ya TUHAN JADILAH KEHENDAKmu AMIN
pengunjung
Senin, 30 Agustus 2010
Taman Wisata Iman, Situs Wisata Religius Dairi
“Sitinjo, An Unique Spiritual Tourism Site.” Demikian sebuah media nasional berbahasa Inggris tanah air, 9 Januari 2005 menginterprestasikan panorama wisata alam religius Dairi yang akan kami singgahi. Letaknya di Kecamatan Sitinjo, 3 kilometer dari Kota Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara.
Mobil masih melaju melintasi aspal hitam. Pemandangan di luar kabin seakan menarik kami untuk segera tiba di tujuan. Tak sabar rasanya. Fauzi, sang fotografer mulai sibuk menyetel kamera. “Ini pasti menarik,” katanya.
Tak lama, mobil menikung ke kiri, melewati sebuah portal yang bertuliskan “Taman Wisata Iman”. Taman Wisata Iman, sebuah nama yang tepat untuk lokasi yang mengandung sejuta makna ini. Jejeran pinus menghantar kesejukan pada mata. Lalu, satu persatu bangunan rumah ibadah ibadah masing-masing agama tampak berdiri tegar. Semua rumah ibadah ada di sana. Seakan-akan Dairi ingin menunjukkan bahwa keaneragaman agama yang saling rukun dan bersatu adalah sesuatu nilai yang agung dan pantas ditanamkan.
Mobil kami menanjak jalanan berliku. Namun bagi umat Kristiani, jalanan yang berliku dan mendaki diyakini memiliki nilai spiritual tersendiri. Bagi mereka, berjalan di sepanjang Taman Wisata Iman mengibaratkan perjalanan Yesus memikul salib hingga Puncak Golgota.
Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
“Itulah fungsi utamanya. Mengenangkan penderitaan Yesus atau the Passion of the Christ seperti dalam film gubahan Mel Gibson itu ,” kata Sekda Kecamatan Sitinjo Anton Sihaloho sarat makna.
Sekitar 100 meter setelah mendaki jalan berliku, perjalanan kami hentikan. Sebuah vihara berdiri tepat di sebelah kiri jalan. Vihara Saddhavadana namanya. Vihara ini telah berdiri sejak tahun 2002 dan hinga kini selalu ramai dipenuhi umat Buddha baik lokal mau pun Medan, bahkan kota-kota lain.
Memasuki bagian dalam vihara, sejenak keheningan terasa. Sebuah patung Buddha duduk bersila dengan telapak tangan menengadah ke depan sementara tangan kiri menyokong sikunya dari bawah. Temaram lampu redup menyala membikin suasana semakin sakral. Gema suara pelan dengan penjaga vihara masih dapat terdengar menggelinding di antara bangunan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. “Goa Bunda Maria, sakrarlnya,” Membuat kami penasaran. Kami pun segera turun. Sebelum menuju ke sana kami pun harus melewati jalan-jalan setapak menurun. Hamparan bunga-bungaan sedikit mengusik pikiran akan firdaus. Damainya.
Jalan menurun, meski melelahkan namun paling tidak sebuah makna tergapai dari sana. Relief-relief yang menggambarkan perjalanan penderitaan Yesus sebelum naik ke surga (the Passion of the Christ) terasa hidup. Patung-patung itu menggambarkan ketika Yesus diadili, disiksa, memikul salib ke Puncak Golgata hingga akhirnya Ia disalibkan dan dikuburkan di sebuah gua.
Beberapa pondok kecil dengan jendela terbuka menghadap lembah dan bukit meramaikan bangunan gereja di samping relief-relief itu. Sambil menunggu keluarga yang sedang berdoa, para pengunjung beragama Kristen masih dapat bersabar dengan ayunan dan beberapa tempat duduk dari kayu di taman tak jauh dari pondok doa itu.
Masih setengah perjalanan. Terasa lelah mendaki jalanan berkelok naik turun, kami pun beristirahat sejenak. Pemandangan alam yang indah. Udara aroma pinus tercium di mana-mana. Anak-anak pelajar tampak berbondong-bondong. Beberapa keluarga asyik berkumpul menikmati makan siang beralaskan tikar. Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
Kami akhirnya tiba di sebuah bangunan mesjid dan relief Ka’bah di sampingnya, setelah beberapa menit mengunjungi pura bagi penganut agama Hindu. Bangunannya tepat menghadap lembah dengan sebuah taman dan tempat duduk kayu di depannya. Dari sini akan tampak pemandangan menuju Kecamatan Sumbul.
Relief Ka’bah tampak dikelilingi bunga-bunga. Beberapa pengunjung tampak asyik membidikkan lensa kameranya. Ada juga yang berjalan-jalan di sekitar taman sambil memandanginya lama-lama. Inilah puncak perjalan ke Taman Wisata Iman.
Sembari menikmati hidangan kopi panas, di hari yang mulai sore itu, kembali terenung dalam hati bahwa inilah karunia Sang Penguasa.
Mobil masih melaju melintasi aspal hitam. Pemandangan di luar kabin seakan menarik kami untuk segera tiba di tujuan. Tak sabar rasanya. Fauzi, sang fotografer mulai sibuk menyetel kamera. “Ini pasti menarik,” katanya.
Tak lama, mobil menikung ke kiri, melewati sebuah portal yang bertuliskan “Taman Wisata Iman”. Taman Wisata Iman, sebuah nama yang tepat untuk lokasi yang mengandung sejuta makna ini. Jejeran pinus menghantar kesejukan pada mata. Lalu, satu persatu bangunan rumah ibadah ibadah masing-masing agama tampak berdiri tegar. Semua rumah ibadah ada di sana. Seakan-akan Dairi ingin menunjukkan bahwa keaneragaman agama yang saling rukun dan bersatu adalah sesuatu nilai yang agung dan pantas ditanamkan.
Mobil kami menanjak jalanan berliku. Namun bagi umat Kristiani, jalanan yang berliku dan mendaki diyakini memiliki nilai spiritual tersendiri. Bagi mereka, berjalan di sepanjang Taman Wisata Iman mengibaratkan perjalanan Yesus memikul salib hingga Puncak Golgota.
Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
“Itulah fungsi utamanya. Mengenangkan penderitaan Yesus atau the Passion of the Christ seperti dalam film gubahan Mel Gibson itu ,” kata Sekda Kecamatan Sitinjo Anton Sihaloho sarat makna.
Sekitar 100 meter setelah mendaki jalan berliku, perjalanan kami hentikan. Sebuah vihara berdiri tepat di sebelah kiri jalan. Vihara Saddhavadana namanya. Vihara ini telah berdiri sejak tahun 2002 dan hinga kini selalu ramai dipenuhi umat Buddha baik lokal mau pun Medan, bahkan kota-kota lain.
Memasuki bagian dalam vihara, sejenak keheningan terasa. Sebuah patung Buddha duduk bersila dengan telapak tangan menengadah ke depan sementara tangan kiri menyokong sikunya dari bawah. Temaram lampu redup menyala membikin suasana semakin sakral. Gema suara pelan dengan penjaga vihara masih dapat terdengar menggelinding di antara bangunan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. “Goa Bunda Maria, sakrarlnya,” Membuat kami penasaran. Kami pun segera turun. Sebelum menuju ke sana kami pun harus melewati jalan-jalan setapak menurun. Hamparan bunga-bungaan sedikit mengusik pikiran akan firdaus. Damainya.
Jalan menurun, meski melelahkan namun paling tidak sebuah makna tergapai dari sana. Relief-relief yang menggambarkan perjalanan penderitaan Yesus sebelum naik ke surga (the Passion of the Christ) terasa hidup. Patung-patung itu menggambarkan ketika Yesus diadili, disiksa, memikul salib ke Puncak Golgata hingga akhirnya Ia disalibkan dan dikuburkan di sebuah gua.
Beberapa pondok kecil dengan jendela terbuka menghadap lembah dan bukit meramaikan bangunan gereja di samping relief-relief itu. Sambil menunggu keluarga yang sedang berdoa, para pengunjung beragama Kristen masih dapat bersabar dengan ayunan dan beberapa tempat duduk dari kayu di taman tak jauh dari pondok doa itu.
Masih setengah perjalanan. Terasa lelah mendaki jalanan berkelok naik turun, kami pun beristirahat sejenak. Pemandangan alam yang indah. Udara aroma pinus tercium di mana-mana. Anak-anak pelajar tampak berbondong-bondong. Beberapa keluarga asyik berkumpul menikmati makan siang beralaskan tikar. Mereka tertawa, tersenyum. Tampak sesuatu di wajah mereka. Nyaman. Dan, yang pasti mereka berbeda agama.
Kami akhirnya tiba di sebuah bangunan mesjid dan relief Ka’bah di sampingnya, setelah beberapa menit mengunjungi pura bagi penganut agama Hindu. Bangunannya tepat menghadap lembah dengan sebuah taman dan tempat duduk kayu di depannya. Dari sini akan tampak pemandangan menuju Kecamatan Sumbul.
Relief Ka’bah tampak dikelilingi bunga-bunga. Beberapa pengunjung tampak asyik membidikkan lensa kameranya. Ada juga yang berjalan-jalan di sekitar taman sambil memandanginya lama-lama. Inilah puncak perjalan ke Taman Wisata Iman.
Sembari menikmati hidangan kopi panas, di hari yang mulai sore itu, kembali terenung dalam hati bahwa inilah karunia Sang Penguasa.
Melestarikan Nilai-nilai Pengabdian DR IL Nommensen
Jika ada pertanyaan, siapakah DR IL Nommensen? Tentu umumnya kita bisa menjawab, sekalipun dalam ukuran yang amat terbatas. Khususnya bagi kalangan masyarakat Batak, nama DR IL Nommensen begitu akrab. Namanya sangat harum. Tidak saja bagi mereka yang tinggal di Bonapasogit, tetapi juga yang ada di parserahan (perantauan). Maka tak heran, begitu banyak fasilitas publik yang memakai nama Nommensen. Nommensen dikenal sebagai apostel orang Batak. Dia hadir untuk menanamkan perubahan yang sangat mendasar bagi masyarakat Batak. Dia mengabdikan hidupnya bagi kehidupan masyarakat Batak, sekalipun ia harus melepas segala kemapanan yang diperolehnya di Jerman. Dia dengan perjuangan gigih mau berangkat dari kehidupan yang aman, hidup di negara yang maju, menuju kehidupan yang tak dikenalnya. Perjalanan jauh dari Jerman hingga sampai di Tanah Batak, bukan tanpa tantangan. Bahkan setelah sampai pun, tantangan yang lebih besar, juga mengiringi hidupnya. Tetapi apa yang kita saksikan kemudian, DR Ingwer Ludwig Nommensen tidak saja berperan besar dalam membawa perubahan kehidupan rohani namun juga kehidupan jasmani orang Batak. Dia membawa perubahan yang sangat besar dalam menuju suatu masyarakat yang merdeka, bebas dari ketertinggalan. Merdeka dari kungkungan ketertinggalan, merdeka dari kepercayaan animisme, dan kanibalisme. Merdeka dari kemiskinan dan kemelaratan. Sekarang kita boleh mengecap pendidikan tinggi, itu tidak terlepas dari perjuangan Nommensen. Sekarang kita boleh memiliki derajat kesehatan yang cukup baik serta menikmati fasilitas kesehatan yang ada juga tidak terlepas dari fondasi yang dibangunnya. Jika ditelusuri lebih mendalam dari literatur yang ada, bahkan Nommensen adalah apostel pertama yang membangun sistem perekonomian di tanah Batak. Dari sistem perekonomian rakyat yang tradisional dengan menata “onan” (pusat pasar) secara bergiliran dari satu kampung ke kampung yang lain. Dia dengan semangat tanpa lelah berkunjung dari daerah ke daerah yang lain. Akhirnya sekarang kita bisa menikmati hasil jerih lelah ratusan tahun yang lalu itu. Kecintaan Nommensen ke tanah Batak, sangat besar. Karena itu, kita tidak heran jika ia kemudian mengabdikan dirinya selama 56 tahun di tanah Batak. Bahkan ketika ia meninggal, sudah berpesan kepada keluarganya agar jangan dibawa ke Jerman, tetapi dia mau dimakamkan di Desa Sigumpar Nauli Kabupaten Toba Samosir. Ini bertolak belakang dengan kebanyakan tokoh orang Batak, yang hanya mau dikuburkan di tanah Batak, namun ia berkiprah di daerah lain. Di bidang pertanian, Nommensen juga membawa perubahan besar. Berkat gebrakan yang dibawanya, petani semakin semangat. Mereka pun kemudian mendapat sistem yang baru. Tidak lagi menggunakan sistem pertanian dengan lahan berpindah-pindah. Hasil produksi meningkat, rasa persaudaraan pun makin kokoh. Pengabdian Nommensen layak kita kenang. Layak kita refleksikan. Dan yang paling penting, layak kita lestarikan. Karena itu, jika sekarang ini ada gagasan untuk melakukan acara Napak Tilas perjalanan Nommensen, adalah satu rencana baik. Artinya, melalui acara ini, pikiran kita akan terbuka bagaimana perjalanan hidup Nommensen dalam melayani dari satu daerah ke daerah lain. Tetapi acara seremonial semata, tidaklah cukup. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana menghidupkan kembali semangat pengabdian Nommensen. Apa yang sudah dilakukan Nommensen, harus kita teladani. Bayangkan, dengan kegigihan, dia dalam menyelamatkan daerah Batak (terutama manusianya) dari segala macam ketertinggalan. Padahal, ia sama sekali tidak memiliki hubungan apapun sebelumnya dengan Tanah Batak. Nommensen hadir sebagai pahlawan bagi masyarakat Batak. Pahlawan yang mengusir segala macam belenggu yang mentradisi. Sekarang kita sudah memperoleh berbagai macam kemajuan. Sekarang kita sudah mengecap berbagai fasilitas yang tersedia. Sekarang kita sudah memiliki kepercayaan yang kepada Tuhan. Maka sudah selayaknyalah kita merajut kembali semangatnya, pengabdiannya, dan kegigihannya. (*)
Tanpa Nommensen, Mungkin Kini Orang Batak Masih Pakai Cawat
[bataknews; balige; kamis siang]
Siang tadi sekitar pukul 13.00 di depan kantor Bupati Tobasa di Balige, Letjen TNI [Purn] TB Silalahi melepas seratusan orang peserta napak tilas memperingati perjalanan sekaligus penyebaran agama Nasrani yang dilakukan DR Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak.
Tokoh berkebangsaan Jerman yang lebih dikenal dengan gelar Apostel Nommensen ini hidup pada era 1834-1918. Ia menjadi Ephorus HKBP pertama, gereja terbesar di Asia Pasifik. “Kalau dulu Apostel Nommensen tidak datang ke sini, mungkin kita orang Batak masih memakai cawat sampai sekarang,” kata TB Silalahi yang juga penasihat Presiden SBY itu, didampingi Bupati Tobasa Monang Sitorus dan wakilnya Mindo Siagian.
“Saya sampai dua minggu membaca buku-buku tentang sejarah Nommensen. Saya betul-betul mengaguminya. Bayangkan, 17 tahun dia di Tapanuli Utara, lalu dengan berjalan kaki, melalui hutan yang penuh binatang buas, datang ke daerah Toba. Kemudian dengan solu [sampan] dia menyeberang ke Pulau Samosir. Luar biasa.”
TB berpesan kepada para peserta napak tilas agar tidak sekadar berkeliling dengan bus ke sejumlah tempat bersejarah di mana Nommensen dulu menyebarkan ajaran agama. “Tapi kalian harus bisa meresapi dan mengambil hikmahnya.”
Bagi orang Batak, Nommensen bukan cuma tokoh pembawa agama. Ia juga dikenal sebagai pembaharu yang membangun sektor pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Selama berada di Tanah Batak, Nommensen telah mendirikan 510 sekolah dengan murid 32.700 orang, antara lain di Balige, Tarutung, Siantar, Sidikalang, Samosir, dan Ambarita. Setiap mengunjungi desa-desa dia selalu membawa kotak obatnya, dan berusaha menyembuhkan penyakit warga.
Ia jugalah yang menciptakan hari pekan sekali seminggu di setiap pasar tradisional di kecamatan-kecamatan. Inilah yang sekarang kita kenal; Senin hari pekan di Laguboti, Selasa di Siborongborong, Rabu di Porsea, Jumat di Balige, dan Sabtu di Tarutung. Pada hari Kamis memang tidak ada pekan; hari ini dipakai oleh para pedagang [yang dijuluki inang parrengge-rengge] untuk belajar koor dan Alkitab; yang kemudian memunculkan istilah “parari Kamis.”
Peserta napak tilas dari Balige akan bergabung dengan peserta lain di Kabupaten Taput, Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Puncaknya pada Minggu [8/4], seluruh peserta akan berkumpul di lokasi makam Nommensen di kompleks gereja HKBP Sigumpar, Kabupaten Tobasa.
Menurut buku kecil yang dibuat panitia napak tilas, semasa hidupnya Nommensen sudah berpesan, jika dia wafat agar tidak dimakamkan di negaranya, Jerman; tapi di Sigumpar. Selama 56 tahun dia berada di Tanah Batak. []
23 Replies
1.
dewi
24 November 2007 at 12:47 pm
Horas
Pengaruh Nommensen terhadap budaya batak benar-banar membawa perubahan yang sangat besar terutama pada pola pikir dan tentunya budaya batak Toba itu sendiri.
Agak-agak lari dari Nommensen sih, tapi berhubungan sama Batak Toba nih….
Bisa nggak dimasukin artikel tentang Budaya Batak Toba yang berpengaruh terhadap kesehatan terutama kesehatan masyarakat.
Maksudnya, apa-apa saja budaya Batak Toba yang berdampak positif dan negatif bagi kesehatan
Seperti budaya mangukkal holi, mempersembahkan makanan atau apa saja yang berkaitan dengan kesehatan.
Makasih kalau akhirnya ada orang yang buat aratikel tenteng budaya Batak dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Sebelumnya thanks
Mauliate!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!1
Siang tadi sekitar pukul 13.00 di depan kantor Bupati Tobasa di Balige, Letjen TNI [Purn] TB Silalahi melepas seratusan orang peserta napak tilas memperingati perjalanan sekaligus penyebaran agama Nasrani yang dilakukan DR Ingwer Ludwig Nommensen di Tanah Batak.
Tokoh berkebangsaan Jerman yang lebih dikenal dengan gelar Apostel Nommensen ini hidup pada era 1834-1918. Ia menjadi Ephorus HKBP pertama, gereja terbesar di Asia Pasifik. “Kalau dulu Apostel Nommensen tidak datang ke sini, mungkin kita orang Batak masih memakai cawat sampai sekarang,” kata TB Silalahi yang juga penasihat Presiden SBY itu, didampingi Bupati Tobasa Monang Sitorus dan wakilnya Mindo Siagian.
“Saya sampai dua minggu membaca buku-buku tentang sejarah Nommensen. Saya betul-betul mengaguminya. Bayangkan, 17 tahun dia di Tapanuli Utara, lalu dengan berjalan kaki, melalui hutan yang penuh binatang buas, datang ke daerah Toba. Kemudian dengan solu [sampan] dia menyeberang ke Pulau Samosir. Luar biasa.”
TB berpesan kepada para peserta napak tilas agar tidak sekadar berkeliling dengan bus ke sejumlah tempat bersejarah di mana Nommensen dulu menyebarkan ajaran agama. “Tapi kalian harus bisa meresapi dan mengambil hikmahnya.”
Bagi orang Batak, Nommensen bukan cuma tokoh pembawa agama. Ia juga dikenal sebagai pembaharu yang membangun sektor pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Selama berada di Tanah Batak, Nommensen telah mendirikan 510 sekolah dengan murid 32.700 orang, antara lain di Balige, Tarutung, Siantar, Sidikalang, Samosir, dan Ambarita. Setiap mengunjungi desa-desa dia selalu membawa kotak obatnya, dan berusaha menyembuhkan penyakit warga.
Ia jugalah yang menciptakan hari pekan sekali seminggu di setiap pasar tradisional di kecamatan-kecamatan. Inilah yang sekarang kita kenal; Senin hari pekan di Laguboti, Selasa di Siborongborong, Rabu di Porsea, Jumat di Balige, dan Sabtu di Tarutung. Pada hari Kamis memang tidak ada pekan; hari ini dipakai oleh para pedagang [yang dijuluki inang parrengge-rengge] untuk belajar koor dan Alkitab; yang kemudian memunculkan istilah “parari Kamis.”
Peserta napak tilas dari Balige akan bergabung dengan peserta lain di Kabupaten Taput, Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Puncaknya pada Minggu [8/4], seluruh peserta akan berkumpul di lokasi makam Nommensen di kompleks gereja HKBP Sigumpar, Kabupaten Tobasa.
Menurut buku kecil yang dibuat panitia napak tilas, semasa hidupnya Nommensen sudah berpesan, jika dia wafat agar tidak dimakamkan di negaranya, Jerman; tapi di Sigumpar. Selama 56 tahun dia berada di Tanah Batak. []
23 Replies
1.
dewi
24 November 2007 at 12:47 pm
Horas
Pengaruh Nommensen terhadap budaya batak benar-banar membawa perubahan yang sangat besar terutama pada pola pikir dan tentunya budaya batak Toba itu sendiri.
Agak-agak lari dari Nommensen sih, tapi berhubungan sama Batak Toba nih….
Bisa nggak dimasukin artikel tentang Budaya Batak Toba yang berpengaruh terhadap kesehatan terutama kesehatan masyarakat.
Maksudnya, apa-apa saja budaya Batak Toba yang berdampak positif dan negatif bagi kesehatan
Seperti budaya mangukkal holi, mempersembahkan makanan atau apa saja yang berkaitan dengan kesehatan.
Makasih kalau akhirnya ada orang yang buat aratikel tenteng budaya Batak dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Sebelumnya thanks
Mauliate!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!1
Langganan:
Postingan (Atom)