pengunjung

Jumat, 30 Januari 2015

huta batak

Huta bukanlah desa atau kampung dalam arti yang kita pahami sekarang. Huta adalah persekutuan hukum dan adat terkecil. Huta merupakan tempat tinggal mereka yang berasal dari satu ompu, satu moyang, dengan atau tanpa boru. Jadi berdasarkan keturunan dan perkawinan.
Dalam soal ini harus dibedakan pengertian huta dari pengertian etnografis dan administratif. Yang menyulitkan pengertian huta ialah bahwa orang mencoba mempergunakan pengertian administratif kepada huta Batak. Terutama setelah pengertian kampung atau desa dengan kelurahan menjadi jelas dan diberlakukan sebagai dasar pengertian umum kampung di Indonesia.
Ini sulit diterapkan di Tanah Batak. Pengertian desa atau kelurahan sudah bersifat administratif, sedang huta Batak bersifat etnografis, berdasarkan keturunan atau kekerabatan. Desa biasa ditempati orang-orang yang bukan kerabat, tetapi huta Batak ditempati orang yang satu marga, bersama atau tanpa boru.
Penggambaran wilayah huta adalah suatu lapangan kecil berbentuk empat persegi dengan halaman bagus, keras dan kosong ditengahnya–tengahnya. Disatu sisi empat bidang persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah (ruma) berbaris, masing-masing rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang . Didepan barisan rumah ada lumbung padi (sopo).
Jaman dahulu huta Batak dikelilingi parik (tembok terbuat dari tanah atau batu) yang tingginya sampai 2 meter dan lebar 1 meter. Kalau terbuat dari tanah maka di atasnya ditanam pohon bambu. Kalau dari batu, maka dibagian luar parik ditanam juga bambu. Gunanya sebagai benteng, melindungi huta dari serangan musuh.
Dari penggambaran tersebut, tampak adanya kehidupan suatu kelompok/kesatuan terkecil masyarakat Toba yang mampu mengatur dirinya sendiri. Di dalam rumah tinggal beberapa keluarga dengan anak-anak mereka. Kalau anak-anak perempuan mulai beranjak dewasa maka si gadis akan tinggal di sopo.
Huta dipimpin oleh ‘Raja huta’ keturunan dari marga pionir pendiri huta. Marga pendiri huta disebut marga raja atau marga tano. Dalam hal ini hanya marga raja yang berkuasa atas tanah. Marga-marga lain yang juga tinggal di huta dinamakan marga boru. Mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah.
Dalam blog Sianturi Mandosiraja disebutkan bahwa, bisa terjadi marga raja itu membawa juga boru-nya (pengambil istri marga raja) bersama-sama mendirikan huta itu dahulu (rap manombang) sehingga ia adalah juga Raja Huta dan bagian dari pemilik huta. Terbuka peluang orang luar yang datang kemudian menjadi warga, dan diberi hak garap atas sebidang lahan pertanian karena mengawini putri dari marga raja/partano. Ia disebut ‘parripe’, pendatang yang diberi status marga boru. Demikian setiap pendatang selalu berstatus marga boru sehingga mendapat status sebagai warga sesuai prinsip dalihan natolu.
Raja huta menyelesaikan masalah-masalah (kecil) antar keluarga warga huta, membagi lahan garapan bagi keluarga-keluarga, menyelenggarakan perkawinan dengan warga dari huta lain, mewakili huta keluar dsb. Status Raja huta turun-temurun kepada anak sulung. Ia adalah pengayom adat, hak ulayat (golat) dan pemimpin sekuler (soal-soal duniawi)