pengunjung

Kamis, 29 September 2011

NASAKOM

Perjalanan sejarah peradaban manusia kita ketahui bersama mengalami masa-masa pergeseran dari yang tidak beradab kemudian beradab dalam hal tatanan kehidupan bermasyarakat dan kemudian berbangsa. Tentu pada pergeseran peradaban ini mempunyai tantangan yang tidak mudah untuk di wujudkan oleh manusia pada masanya. Hal ini sering dikenal dengan istilah revolusi atau perubahan besar-besar desegala bidang kurang lebih demikian pengertiannya. Dalam perubahan secara total pada peradaban manusia ini, tentunya tidak semua orang memiliki pemikiran dan keinginan untuk berbuat sesuatu guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik, sebab terkadang menurut saya pola kehidupan rakyat walaupun menurut segelintir orang itu perlu di perbaharui atau diubah secara total tetapi tidak semua orang berpikir demikian, maka disitulah terkadang muncul yang namanya tokoh disuatu perkumpulan manusia, sebab dipandang memiliki kriteria tertentu atau kelebihan tertentu sehingga kemudian muncul istilah dianggap pemimpin. Tentunya, kalau kita melihat kenyataannya suatu perbuatan seseorang walaupun tujuan nya untuk kepentingan rakyat atau orang banyak , ternyata tidak serta merta kemudian apa yang dilaukakan yang bersangkutan tersebut langsung di ikuti oleh orang lain atau di akui serta di terima masyarakat banyak sebab terkadang belum ada pembuktian. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa penemuan yang terkadang yang menemukan itu sudah lama berkalang tanah, baru disadari bahwa apa yang dikatakannya ternyata itu benar.

Pada bidang social politik, ini beda dengan bidang lain yang pada hakekatnya pada saat ingin mengemukakan suatu pendapat bisa langsung dipraktekan, misalnya menemukan rumus kimia, itu bisa dipraktekan langsung, terus ilmu pasti lainnya. Akan tepai apabila dalam hal sosial politik yang umum orang mengenal dengan dunia polotik atapun kekuasaan dan pemerintahan, maka pada saat menelorkan konsep maka hal itu tidak serta merta akan di akui orang, dan kemudian bahkan untuk dimengerti pun terkadang sulit jika yang memahami itu tidak memiliki pengetahuan luas tentang dunia politik dan atau sejenisnya yang menyangkut tentang kebijakan public.

Saya menulis SOEKARNO DAN SISTEM PEMERINTAHAN OTORITER ini bukan berarti yang mencoba untuk membela Soekarno dengan menerapkan serta mengkalin diri sebagai presiden seumur hidup untuk Negara Republik Indonesia, akan tetapi saya mencoba mengeluarkan apa yang ada di dalam otak dan pemikiran saya, berdasarkan batas kemampuan yang saya miliki.

Faktanya, tidak bisa dipungkiri bahwa Soekarno sebagai bapak proklamator Negara yang kita cintai ini, kemudian Soekarno identik dengan Soekarnoisme, terus Soekarno dimasukan terlibat dengan gerakan G-30/S PKI, dan Otoriter serta berbagai hal lainnya yang diletakan pada kepribadian seorang Soekarno yang dikenal sebagai pencetus NASAKOM ( Nasionalisme, Agamaisme, Sosialisme, Komunisme) sehingga Soekarno di identikan dengan SOEKARNOISME. ( Buku karangan Nurani Soyomukti PEREMPUAN DIMATA SOEKARNO)

Dalam membaca biografi Soekarno dan dalam Buku PEREMPUAN DIMATA SOEKARNO, dimana dalam buku tersebut juga diulas kepribadian sang Bapak Proklamator ini serta pandangan-pandangnnya dalam hidup sampai pandangannya di dalam hal perempuan dan keberadaannya.

Otoriter dengan dikatakannya dirinya serta berbagai aturan yang mungkin beliau rancang sendiri untuk mengkodisikan Diri Soekarno sebagai presiden seumur hidup itu memang mungkin dilakukan, namun melihat kenyataan Indonesia hari ini menurut saya sudah masuk tahapan tercabik-cabik dan porak-poranda dalam segala hal, bahkan terancam secara toritorial kewilayahaan ini sangat mengugah hati dan pikiran saya untuk mencoba menggali segala segi dalam Negara ini, termasuk ketertarikan saya untuk mencoba membaca gagasan para peletak dasar dan pondasi Negara ini, Karena saya Percaya bahwa SEJARAH MERUPAKAN PETUNJUK UNTUK MELANGKAH KEDEPAN “ dalam segala hal” termasuk dalam dunia politik pemerintahan dan kenegaraan.

Saya kemudian melihat suatu fakta di Desa saya tepatnya di Desa Konde Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara, hari ini di desa tersebut ada tanaman jambu mente dan kopra. Pada tahun 1960 an keatas, daerah ini bahkan pernah dilanda kelaparan. Dimana masyarakat akhirnya banyak yang merantau untuk mencukupi hidup dan mencari hidup di negeri orang. Pada akhirnya kebutuhan sandang, pangan, papan pun tidak mengalami perubahan. Program pemerintah dengan menganjurkan rakyat menaman kelapa, jambu mente demi kesejahteraan dan untuk menopang hidup mereka nantinya malah disalah tafsirkan bahwa, kalau ini sudah berbuah nantinya atau berhasil maka akan di nikmati dan dimiliki oleh pemerintah dalam hal ini saat itu camat. Akhirnya sang pemerintah saat itu, menurut cerita dari rakyat disana mengancam bahwa siapa saja yang tidak mengikuti program tanam jambu dan kelapa maka akan di hokum dengan hukuman berat, terpaksa rakyat menanam. Hari ini rakyat menikmati hasilnya, dan yang memerintahkan hal ini secara pribadi manusia telah tiada.

Dari fakta diatas jelas apa yang dilakukan oknum pemerintah itu adalah OTORITER tentunya, walaupun demi kesejahteraan rakyat, tapi itu disadari setelah berlangsung lama. Yakni hari ini bukan kemarin waktu awal akan dikatakan.

Saya berpikir, Negara ini waktu merdeka dengan dikumandangkannya PROKLAMAI OLEH IR. SOEKARNO DAN DRS. MUHAMMAD HATTA dalam kondisi yang keterbelakanga disegala hal, disusul dengan sumber daya manusia yang berstatus berpendidikan tentunya sangat terbatas jumlahnya, sehingga untuk mempengaruhi dan menyadarkan rakyat yang baru bebas untuk bergegas melangkah maju dengan ketertinggalan dari berbagai macam segi saya kira itu sangat sulit, asumsi jika diberikan kebebasan kepada rakyat dalam hal ini dilepas, diberikan kebebasan disegala bidang termasuk politik untuk menentukan pilihan langsung pemimpin seperti sekarang ini, saya kira hanya akan menimbulkan berbagai macam problem karena pengetahuan mereka masih terbelakang, karena penjajahan yang terlampau mendarah daging. Hanya satu hal yang mesti dilakukan oleh pemerintah saat itu saya wajar kalau menekan rakyat dengan tujuan untuk kebaikan, maka otoriter haru ditempuh. Saya tidak membela Soekarno dalam hal otoritismenya karena saya pun tidak tau apakah hal itu dilakukan dengan sadar berdasarkan pemikiran saya diatas atau itu dilakukan untuk dasar kekuasaan seumur hidup, namun Otoriter dalam pemerintahan saya nilai juga perlu dilakukan pada kondisi dan waktu tertentu.

Kemudian kajian perkataan Soekarno untuk menjadi presiden seumur hidup, saya juga berasumsi bahwa itu juga wajar dilakukan oleh manusia yang merasa bahwa dalam suatu perkumpulan orang apalagi dalam hal kebangsaan jika memang itu disadari bahwa belum ada yang layak menjadi presiden daripada juga diberikan kepada orang yang akan membawa kepada kehancuran, apalagi Indonesia baru merdeka maka lebih baik dipegang terus kekuasaan demi rakyat banyak, namun saya juga tidak tahu apakah Soekarno mengatakan hal itu berdasarkan pemikiran saya tau hanya sebatas untuk mengabadikan egeoismenya untuk menjadi presiden.

Saya berasusmsi bahwa Soekarno tentunya tidak akan mau menghancurkan Negara yang dia cintai ini sampai mesti rela Beliau di penjara ole Belanda, kemudian di asingkan ke Ende NTT dan berbagai tempat hanya untuk memenuhi egoismenya untuk berkuasa dalam kursi kepresidenan. Saya tidak begitu yakin bahwa beliau berkolaborasi dengan PKI dalam membuat pemberontakan yang konon kabarnya sampai ada gerakan pembakaran mesjid.

Bahkan saya melihat, Soekarno sebenarnya mempunyai konsep yang jauh kedepan dimana mungkin orang lain belum memikirkan apa yang akan terjadi beliau berhasil memprediksi kejadin itu dengan tepat, mengapa saya katakana demikina, NASAKOM pemikiran beliau yang dinilai akan mengkomuniskna Indonesia, menurut analisa saya itu merupakan pemikiran jenius yang berhasil menyatukan antara agama, social, komunis.

Hari ini disadari atau tidak, semua hal itu telah ada didalam kehidupan berbagsa bernegara kita, NASAKOM secara tidak disadari telah dijalani oleh kehidupan peradaban manusia dewasa ini, kita tentunya mesti banyak melihat kebelakang dengan mengkajinya secara mendalam,

Akhir dari pemikiran saya, manusia yang mesti menjadi presiden harus memiliki kecerdasan interlektuan dan spiritual karena kata sederhananya mesti bersih lahir dan bathin, karena kecerdasan intelektual terkadang kalah dengan perkataan bathin yang bersih. Jadi saya orang yang percaya akan kebatinan dan ketaqwaan, keimanan yang terakumulasi menjadi kebersihan hati manusia bisa mengalahkan kecerdasan manusia yang buta akan mata hatinya, tentunya itu adalah yang MAHA KUASALAH yang mengetahui dan berhak untuk menilainya, kita tentunya mesti banyak meminta petunjuk terhadap yang Maha Kuasa, termasuk dalam menentukan pemimpin, rakyat mestinya tidak tergoda dengan konsep, visi misi, serta janji kadidat pemimpin, tetapi yang lebih utama menurut saya jalan terbaik adalah, BERSUJUD DAN MENCARI PETUNJUK ALLLAH SWAT, INSYA ALLAH PASTI AKAN DITUNJUKAN KALAU KENA CARANYA, JADI MARI KITA BANYAK MENGENAL ESENSI KETUHANAN.

Jumat, 23 September 2011

my slide with my love

Pizap Photo Editor Photos Slideshow Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ Pizap Photo Editor Photos Slideshow Slideshow ★ to Jakarta. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor

comment this....!!

Identitas “Batak” Dalam Konteks Etnisitasnya by Jones GultoM

BICARA tentang “Batak” sebagai identitas etnik, memang cukup kompleks. Dari asal-usul penyebutan kata “Batak” saja, sudah beragam serta sering menuai kontroversi. Tetapi hampir secara umum, menyebutkan bahwa kata “Batak” merupakan stereotif negatif yang dilabelkan oleh orang non “Batak” terhadap sebuah kelompok masyarakat yang berdiam di ...tempat tertentu. Dr. H.N. Van der Tuuk (1824-1894) misalnya. Dalam setiap tulisannya, ia cenderung mengartikan “Batak” sebagai masyarakat komunal yang barbar. Tendensi yang dikesankan Van der Tuuk, bagaimanapun tak lepas dari tujuannya sebagai misioner-kebudayaan. Jauh sebelumnya dalam “The History of Sumatera” karya William Marsden (1754 – 1836) yang diterbitkan tahun 1784 juga memaknai “Batak” sebagai kata yang mempresentasikan sejumlah perilaku negatif atas sebuah kelompok masyarakat di satu wilayah di pedalaman Sumatera. Bahkan Marcopolo yang juga sempat menyinggahi Barus pada abad ke-12, sempat pula memberikan komentar, bahwa ada sekelompok masyarakat di pedalaman hutan Sumatera, (mungkin maksudnya hulu Barus) yang terkenal keji, suka berperang dan barbar. Kelompok orang ini disebut “Betach” yang kemudian disebut “Batak” Dalam arti, “Batak” dengan beragam penyebutannya itu, sudah berkembang jauh sebelum kedatangan Kolonial Belanda (abad 16). Ini sekaligus mematahkan tesis yang mengatakan penamaan “Batak” awalnya diberikan oleh Belanda. Jauh ke belakang, kata “Batak” sendiri sudah disebut-sebut ejak abad ke-6, ketika Barus dimasuki pedagang dan khalifah Islam, kemudian berkembang menjadi Imperium Sumatera. Di buku “Sejarah Raja-Raja Barus” karangan Jane Drakard, dituliskan bahwa Kerajaan Hulu Barus (berdiam di lembah sebelah barat) secara sosial dekat dengan masyarakat yang disebut “Batak”. Dikatakan pula, kelompok masyarakat “Batak” ini adalah masyarakat komunal yang sudah memiliki sistem sosial dan adat yang mapan. Sementara Kerajaan Hilir Barus yang terletak di pesisir itu, menjalin relasi sosial dengan kebanyakan pendatang dengan tujuan dagang. Buku “Sejarah Raja-Raja Barus” bercikal dari dua sumber, yakni; Kronik Hulu dan Kronik Hilir. Bahwa benar, sering terjadi peperangan antara kedua kerajaan tersebut. Namun dalam situasi tertentu justru mereka bergabung untuk menghadapi musuh bersama, misalnya melakukan perlawanan dengan Kerajaan Aceh. Pada akhirnya, bahkan kedua kerajaan ini bersatu. Pertanyaannya, darimanakah muasal stereotif negatif itu muncul? Benarkah kelompok masyarakat yang dikatakan Van der Tuuk, Marsden dan Marcopolo adalah masyarakat yang sama dengan yang di abad ke-6 itu? Kalau benar, peristiwa apakah yang terjadi, (rentang abad ke-6 sampai 12) sehingga merubah pola laku kelompok masyarakat “Batak” itu. Saya kira, masyarakat “Batak” telah mengalami sejumlah persoalan yang kompleks sebagai imbas dari kemelut ekonomi, politik dan agama yang terjadi, jauh sebelum masa kolonialisme. Analisis menarik lainnya diungkapkan beberapa antropolog lokal, salah satunya. Bungaran Simanjuntak. Menurutnya, etnis “Batak” merupakan ras Mongolia Mansuria. “Awalnya kurang lebih 5000 tahun lalu, tentara Mongol berperang dengan bangsa Tar-tar, terpojok dan kemudian lari menuju Indonesia Bagian Timur melalui China. Para tentara Mongol ini pada saat itu mengendarai kuda, dan masyarakat di daerah Indonesia Bagian Timur (saat itu belum beretnis Batak) menamai tentara Mongol ini dengan ’Batak.’ Itulah awal nama etnik Batak.” Dengan kata lain, asal-usul nama etnik “Batak” itu menurut Bungaran, merupakan hasil dari budaya maupun sejarah di Sumut. “Batak merupakan satu kata dari bahasa Batak sendiri yang artinya penunggang kuda. Dari sisi inilah nama Batak ini muncul. Berbeda dengan Bungaran, ada satu tulisan yang terbit di surat kabar Immanuel edisi 17 Agustus 1919. Dalam tulisannya, penulis dengan inisial “JS” mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1903 (halaman 64) menulis: “Adapoen bangsa yang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa “Batak” namanya. Adapoen kata “Batak” itoe pengertiannya : oerang pandai berkuda. Masih ada kata “Batak” yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan) kepada bangsa itoe…” Kata; “bangsa itoe”, boleh jadi sebagai ejekan yang diberikan oleh orang di luar masyarakat “Batak” itu sendiri. Beda pendapat dikemukakan oleh Sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Phill Ichwan Azhari, yang menyampaikan hasil penelitiannya di Jerman terkait etimologi (asal-usul kata) dan genealogi (asal-usul garis turunan) Batak. Menurut Ichwan, Batak bukan berasal dari Batak sendiri, tapi dikonstruksi para musafir barat dan dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Saat Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda. Menurutnya, konsep Batak dari misionaris Jerman semula digunakan kelompok masyarakat di kawasan Tapanuli Utara, tapi lebih lanjut dipakai Belanda menguatkan cengekraman ideologi kolonial Definisi masyarakat Batak, dipertegas dalam buku Daniel Perret, “Kolonialisme dan Etnisitas; Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut”. Semua istilah Batak dicatat dalam tanda petik dan identifikasi “Batak” dalam setting kolonial waktu itu merupakan bagian dari dikotomi antara Melayu yang dianggap beradab melalui Kesultanan dan Keislamannya dan posisi orang-orang “Batak” yang belum menganut Islam yang dianggap stereotip dari orang-orang yang tidak beradab. Habitus Baru Menurut dugaan saya, tekanan yang dialami masyarakat “Batak” di berbagai fase sejarahnya itu, menyebabkan kelompok masyarakat ini kemudian bergegas mencari kehidupan baru. Merosotnya Barus di kemudian hari, akibat intervensi politik-ekonomi oleh Kerajaan Aceh maupun Pagaruyung, setelah abad ke -6 itu, menyebabkan kelompok masyarakat ini hijrah mencari tempat dan penghidupan baru. Saya menduga mereka pergi melalui jalur Pantai Barat hingga sampai ke Dolok Sanggul. Dan dari Pantai Timur menuju Silindung. Kemudian dua wilayah ini menemukan sentralnya di Balige. Sementara Pulau Samosir sendiri menyusul kemudian, terutama setelah transportasi air diciptakan oleh Belanda dan berkaitan erat dengan misi Katolik. Hal ini sejalan dengan historis yang dijelaskan dalam Kronik Hilir. Tapi dugaan ini luntur akibat mitologi penciptaan orang “Batak” dengan kiblatnya Pusuk Buhit. Mitologi ini menjadi sumber yang dipakai dalam Kronik Hulu. Bahwa kelompok masyarakat “Batak” sudah ada jauh sebelum kejayaan Barus. Mereka tinggal di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan di persekitaran Danau Toba. Jadi sejak semula kisah, masyarakat “Batak” memang sudah tercipta atas 2 opsi tersebut. Simpang siur muasal ini boleh jadi mendorong sejumlah pemikir kebudayaan membuat semacam regalia untuk dijadikan patokan, salah satunya memberlakukan konsep Dalihan Na Toli ( DNT) yang menurut Peneliti Universitas Leiden Belanda, Johann Angerler, baru muncul dan berkembang pesat pada tahun 1950-an. Menurut Johann konsep itu telah digunakan pada institusi Bataks Studiensfonds yang merupakan perhimpunan Batak di Kotanopan. Tetapi pada saat itu, konsep tersebut masih kurang akrab dengan orang Toba.” Barulah setelah era kemerdekaan konsep itu sangat populer. Demikian pula dengan penggunaan konsep Tarombo (silsilah) yang baru muncul pada tahun 1920-an yakni berupa adanya pencatatan silsilah orang Batak Toba. Jika merujuk pada keyakinan Parmalim, DNT sebenarnya sudah lama ada, yang dirintis oleh Raja Uti. Cikalnya berasal dari konsep “Suhi Na Ampang Na Opat.” Dalam Suhi Na Ampang Na Opat” ditambahkan satu unsur lagi dari DNT, yakni “Hormat Maraja”. Menurut keyakinan Parmalim, seperti tertulis dalam buku “Agama Malim di Tanah Batak” oleh Prof. Ibrahim Gultom, pencopotan unsur “Hormat Maraja” itu dilakukan oleh Belanda untuk mengurangi kekuasaan raja sehingga mempermudah kolonialisasi. Meski begitu DNT bukanlah jaminan penanda orang Batak. Bagaimana dengan orang-orang Batak yang menikah dengan orang di luar sukunya. Tentu prinsip DNT tak berlaku kepadanya. Tarombo Batak yang diberlakukan juga justru sering menuai kontroversi, terutama oleh sub Batak (di luar Toba) yang menolak klaim atas marganya. Kemudian kelompok ini menguatkan diri sekalian menolak disebut sebagai “Batak” seperti yang ditunjukkan Mandailing dan Karo. Penolakan (denial) itu tentu saja memengaruhi wilayah administrasi “Batak” yang dulu sempat dipetakan oleh pemerintah Belanda sebagai “Bataklanden” yang mencakup seluruh wilayah Tapian Nauli. Atas berbagai keadaan ini, menurut saya memang sudah perlu dirumuskan sebuah konsensus baru terhadap “Batak” menyangkut identitas-etniknya. Sebab, bagaimanapun historis pembentuknya tak lepas dari kepentingan berbagai pihak. Sementara, saat ini kita membutuhkan “Batak” yang kuat, mengakar dan mencerahkan! (Analisa, 7 Agustus 2011, Penulis pekerja seni, media, dan budaya. https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150381278551830 Disampikan dalam diskusi Forum Sisingamangaraja XII, Medan, 30 Juli 2011)

Minggu, 18 September 2011

CINTA SEJATI.............!!!@#$!@#$!@?#?>?



Seperti hidupku kini, kehadiran cinta mengubah segala hal dalam hidup, lebih menghargai untuk apa dan mengapa kita hidup. Kedatangannya membuatku takkan berhenti mensyukuri nikmat Tuhan dan ingin hidup seribu tahun lagi.
Cinta..kata-katanya memberikan arti yang sangat dalam bagi insan yang sedang mengalaminya, jatuh cinta seolah menjadikan dua insan berbeda bersatu dalam naungannya. Begitu besarnya arti cinta membuat orang-orang enggan untuk berpaling darinnya.

Tapi lain halnya jika seseorang sedang berduka dengan berakhirnya hubungan ikatan cinta, memikirkan setiap kenangan merupakan hal yang sangat menyakitkan buatnya. Seolah hati teriris-iris sembilu. Ingin rasanya jiwa lepas dari raga, hanya untuk sekedar melepaskan semua kenangan yang tirtinggal saat bersamanya.
Menghapus semua kenangan yang indah bukanlah hal yang mudah, apalagi kenangan itu sangat berkesan bersama orang yang kita cintai, tapi dengan memikirkannya membuat sakit didalam hati. Setiap orang yang sedang putus cinta, pasti merasakan hal yang sama. Kepergian sang kekasih menoreh luka dalam yang terkadang perlu waktu lama untuk mengobatinya.

Begitulah cinta, datang tanpa diduga,namun terkadang pergi begitu saja. Hanya satu yang bersemayam diotakku, benarkah itu cinta? Kenapa cinta begitu mudah pergi dan hilang saat ia tak bisa ada pada satu orang?saat cinta lain datang menghampiri, mengapa cinta begitu cepat pindah kelain hati?ada apa dengan cinta?
Benarkah itu semua hanya cinta sesaat?atau hanya sebuah pencaharian cinta sebelum cinta menemukan pasangan jiwanya?
Entahlah….semua pertanyaan itu mendapatkan jawaban yang berbeda dari setiap orang yang kutemui. Bagiku cinta adalah sesuatu harta yang harus dijaga dan dipertahankan, karena hidup tiada arti tanpa cinta.
Bagai mana menurutmu? Tentang arti cinta?Adakah engkau akan memberikan jawaban atas cinta ini?


Kata-kata itu selalu terngiang ditelingaku, semua hal yang terjadi melintas difikiranku. Emang benar, saat memikirkan seseorang yang kita cintai, tak kan pernah habis waktu untuk itu. Hal itu juga membuat kita bisa kembali bersamangat dalam menjalani hidup.
Menikmati hari-hari yang terasa penuh dengan beraneka warna.
Cinta….sungguh anugrah yang terindah yang diberikan Sang Pecipta pada makhluknya, tanpa cinta tak akan ada kedamaian didalam dunia.


Smoga CINTA sejati bersama kita SEMUA...........AMIN

Selasa, 13 September 2011

apakah kejahatan TUHAN berikan?

apakah kejahatan TUHAN berikan?
oleh 'Ronald Yos Parhusip pada 12 September 2011 jam 22:10

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?

Apakah kejahatan itu ada?

Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal itu menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini,

“Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab,

“Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.

“Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi.

“Ya, Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab,

“Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,

“Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”

“Tentu saja,” jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya,

“Profesor, apakah dingin itu ada?”

“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”

Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?”

Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”

Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap.

Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya diruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”

Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.”

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab,

“Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan.

Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.

Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”

Profesor itu terdiam. Nama mahasiswa itu adalah “Albert Einstein”.