pengunjung

Rabu, 27 Januari 2010

Ingwer Ludwig Nommensen Riwayat Seorang Jerman di Tanah Batak

"..Sungguh pun mula-mula pekerjaannya amat susah dan dia sering ditimpa sengsara dan bahaya, bahkan dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata "si bottar mata..."

Jakarta - Kutipan di atas adalah tulisan dari Dr H Berkof dan Dr IH Enklaar yang diungkapkan untuk figur seorang Ingwer Ludwig Nommensen. Bottar mata dalam arti harafiah adalah mata putih, sekadar makna simbolik yang sebenarnya ditujukan pada tentara Belanda. Ungkapan kerasnya perjalanan seorang misionaris Jerman Nommensen ketika masuk dalam sebuah peradaban kebudayaan itu lama terpatri. Kutipan itu juga yang menjadi bahan ilustrasi adegan di dalam panggung teater dan tari yang dipergelarkan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jumat (26/9).


Latar panggung yang dipertahankan berupa panggung mulanya berisiko karena tak memperlihatkan landscape atau pemandangan tanah Batak. Namun dalam pementasan ini, semua bisa ditutup lewat tampilan pepohonan dan semacam gubug di panggung. Juga pengisian musik dan cahaya yang mampu mengisi suasana dialogis para aktor di atas panggung.


Ada Poltak Hutabarat yang memainkan dua peran, pertama Raja Panggalamei yang telah membunuh misionaris di tanah Batak, Lyman dan Munson. Kedua, Poltak juga memerankan Raja Panalangkup yang bertobat oleh kebajikan dari Ingwer Ludwig Nommensen. Tokoh utama, Nommensen, diperankan Arista Sinaga. Ada Liber Manullang dan Herman Situmorang yang memainkan Henry Lyman dan Samuel Munson, dua misionaris yang terbunuh sebelum misi Nommensen. Inilah tafsiran panggung atas catatan biografi seorang yang lahir pada 6 Februari 1834 di Nortdstrand, pulau kecil di perbatasan Denmark dan Jerman. Dikisahkan perjalanan dia ketika masuk ke Barus pada 23 Juni 1862 melalui Sibolga, setelah beberapa bulan dia menetap di Sipirok.


Persiapan pementasan yang cukup sempit, sebulan lebih, ternyata tetap membuat penampilan teaternya tetap terjaga. Kendati, peran Nommensen dan Johan von Elstrom kurang mengeluarkan cengkok (dialek) Belanda sebagaimana para pemeran tokoh Batak yang tak hanya berdialek namun juga mengeluarkan ungkapan spontan khas Batak, bagaimana si sutradara Oliver Sitompul menata akting para aktor, cukup memadai sehingga enak dilihat secara teaterikal.

Penuh Hikmat
Drama tari dan musik "Terpilih untuk Bersaksi" memaparkan kisah kasih karunia yang begitu besar dari bentuk kemerdekaan sejati dalam Nama Tuhan Yesus. Pertunjukan teatrikal tersebut mencakup dua babak perjuangan keimanan Nommensen dalam melakukan pelayanan bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus, dan pelayanan yang dilakukannya di tengah-tengah orang yang sudah mengenal Kristus, namun mengingkarinya. Seperti diketahui, Dr Ingwer Ludwig Nommensen adalah seorang misionaris berkebangsaan Jerman yang selama 57 tahun hingga akhir hidupnya (1862-1918), menjadi hamba Tuhan yang penuh hikmat.

Dia demikian sabar saat menghadapi masyarakat Batak yang berkarakter keras pada masa itu. Segala ancaman kematian tidak menyurutkan niat pelayanannya, di tengah kecurigaan Bangsa Batak ketika itu terhadap kedatangan kekuatan asing di wilayah mereka. Pementasan teatrikal "Terpilih untuk Bersaksi" menggambarkan sisi lain dari kekukuhan masyarakat Batak dalam menjaga martabat kebudayaan leluhur pada saat itu hingga sekarang. Melalui bagaimana Nommensen harus berdaya upaya mengajarkan pengetahuan Kristen dan pendidikan umum. Sejak mula pendekatannya, ia selalu mengajarkan pedoman cinta kasih yang manusiawi, tanpa melupakan dasar pemahaman kebudayaan Batak, tradisi setempat, dan kesukaan mayoritas penduduk terhadap musik.


Pemahaman iman Kristiani dan budaya leluhur, hingga kini menjadi identitas yang jelas bagi masyarakat Batak. Sebutlah, lahirnya Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP) sejak pertengahan Abad 19 membuktikan perkembangannya yang menarik sebagai gereja muda paling besar di dunia. Kesenyawaan utuh dari identitas keagamaan Kristen dan kelestarian budaya tersebut atau sejatinya terkait dengan Perayaan Pesta Paheheon Naposobulung berlangsung di Graha Bhakti Budaya. Kegiatan yang diprakarsai Naposobulung Huria Kristen Batak Prostestan (NHKBP) Ramawangun itu juga bertepatan dengan kalender tahun HKBP, yakni tahun marturia melalui seruan "Boan Sadanari". Bertajuk "Terpilih untuk Bersaksi", aktivitas keimanan ini sekaligus diproyeksikan dalam bentuk teatrikal kehidupan Dr Ingwer Ludwig Nommensen, saat ia pertama kali menyebarkan Injil di Tanah Batak.


Segala perjuangan tulus Dr Nommensen disimbolkan sebagai perenungan wujud karya nyata yang dilakukan Tuhan terhadap Bangsa Batak, yang merupakan bentuk pemilihan Tuhan terhadap Bangsa Batak untuk bersaksi. Refleksi panggilan tersebut dikaitkan dengan apa yang tertuang pada Filipi 3:14: "aku melupakan apa yang telah di belakangku, dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku". Suatu ungkapan panggilan iman yang senantiasa harus dimiliki umat Kristiani (Naposubulung Kristen) untuk menanggalkan pola kehidupan yang lama (sebelum mengenal Yesus Kristus seutuhnya) serta dapat memberikan pengaruh yang baik bagi sekitarnya. Sebab, Naposobulung dinilai tidak saja sebagai tunas bagi perkembangan gereja, namun juga sebagai media pembaharu yang seharusnya memiliki kesadaran, kepedulian, inisiatif, kreativitas dan etos kerja tinggi.


Namun sebaliknya, mereka menyadarari tentang naposobulung yang saat ini mengalami proses degradasi dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat. Salah satu contoh yakni pengenalan dan pengetahuan yang kurang dan bahkan cenderung meninggalkan budaya Bangsa Batak sebagai lambang identitas diri sebagai orang Batak.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

didia do boi dapot au opera Nommensen?