pengunjung

Rabu, 27 Januari 2010

RONALD YOS NAINGGOLAN BLOG: Asal-Usul marga batak

RONALD YOS NAINGGOLAN BLOG: Asal-Usul marga batak
DR Ingwer Ludwig Nommensen menjadi tokoh penting dalam sejarah orang Batak. Ia tak sekadar menyebarkan dan menancapkan dengan teguh pokok-pokok kekristenan. Nommensen tahu betul bahwa ajaran agama Kristen harus pula didukung melalui pembangunan pada manusia itu sendiri. Penyebaran agama yang dia usung juga disertai oleh pelayanan di seluruh sendi kehidupan utamanya di bidang pendidikan, kesehatan, maupun perekonomian. Nommensen juga sangat memahami bahwa pendekatan dalam rangka penyebaran agama tak boleh terlepas dari pengaruh budaya. Masyarakat Batak tak boleh terlepas dari budaya mereka.
Ingwer Ludwig Nommensen lahir pada 6 Pebruari 1834 di Nortdstrand, sebuah pulau kecil di pantai perbatasan Denmark dan Jerman. Dia adalah anak pertama dan lelaki satu-satunya dari empat orang bersaudara. Ayahnya bernama Peter dan ibunya Anna adalah keluarga yang sangat miskin. Sejak kecil, Nommensen sudah tertarik dengan cerita gurunya Callisen tentang misionaris yang berjuang untuk membebaskan keterbelakangan serta perbudakan pada anak-anak miskin. Meski masih anak-anak, Nommensen harus rela menghadapi kenyataan pahit, hidup dalam penderitaan. Pada umur 8 tahun, ia sudah mulai berjuang membantu orangtuanya mencari nafkah untuk sekadar bertahan hidup. Menggembalakan domba milik orang lain pada musim panas menjadi rutinitas Nommensen, sedangkan pada musim dingin ia bersekolah. Nommensen juga pernah bekerja sebagai buruh tani pada usia 10 tahun.
Kemiskinan ditambah harus menderita karena mengalami kecelakaan parah menggiring Nommensen mulai tertarik pada misi penginjilan. Pada umur 12 tahun, Nommensen terpaksa berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan akibat patah kaki. Teman-teman Nommensen biasanya datang menceritakan pelajaran dan cerita guru di sekolahnya, termasuk cerita pengalaman para pendeta yang pergi memberitakan injil ke suatu tempat yang belum disentuh ajaran Kristus. Cerita itu ternyata menjadi sebuah inspirasi baru bagi Nommensen hingga ia memutuskan bila sembuh kelak akan menjadi seorang misionaris. Dalam doa, Nommensen meminta kesembuhan, dan berjanji kalau disembuhkan maka ia akan pergi memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Tuhan. Doanya dikabulkan.
Beberapa tahun ia belajar sebagai calon penginjil. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen. Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862


Nommensen di Tanah Batak
Selama berada di Tanah Batak, Nommensen telah mendirikan 510 sekolah dengan murid 32.700 orang, antara lain di Balige, Tarutung, Siantar, Sidikalang, Samosir, dan Ambarita. Setiap mengunjungi desa-desa dia selalu membawa kotak obatnya, dan berusaha menyembuhkan penyakit warga. Nommensen pulalah yang menciptakan hari pekan (onan) sekali seminggu di setiap pasar tradisional di kecamatan-kecamatan. Inilah yang sekarang kita kenal; Senin hari pekan di Laguboti, Selasa di Siborongborong, Rabu di Porsea, Jumat di Balige, dan Sabtu di Tarutung. Pada hari Kamis memang tidak ada pekan; hari ini dipakai oleh para pedagang [yang dijuluki inang parrengge-rengge] untuk belajar koor dan Alkitab; yang kemudian memunculkan istilah “Parari Kamis.”
Setelah resmi diutus dari RMG Barmen, Nommensen terlebih dulu menemui Dr. HN Van der Tuuk, yang pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Berbekal informasi dan pengetahuan tentang orang Batak, Nommensen memulai petualangannya ke Tanah Batak pada 24 Desember 1861. Ia berangkat dengan menumpang kapal Partinax menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana, ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah Nommensen pertama kali bertemu langsung dengan orang Batak. Peluang menyebarkan agama Kristen dinilai Nommensen kurang tepat di daerah ini. Selain karena sudah masukya agama Islam, adanya nilai pluraritas antarsuku
Leave a Reply


Di tulis Kan kembali oleh RONALD YOS.N
>> sie.acara parheheon NHKBP perumnas Tangerang 2009 / yos_ronald@yahoo.com - www.ronaldyos.blogspot.com
Gbu

Asal-Usul marga batak



Asal-Usul marga batak
Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak. Semua marga-marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja Batak di [Tarombo Online].
Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak masih perlu dikaji lebih dalam.
Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba.Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu:
1. Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya)
Cth: marga Simbolon,Sagala, dsb
2. Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya)
Cth: marga Sitorus, Marpaung, dsb
3. Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya)
Cth: marga Simatupang Siburian, Sihombing Lumban Toruan, dsb
4. Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya)
Cth: marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat,dsb
[sunting] Hubungan Antar Marga
Hubungan antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak (Samosir-Toba-Humbang-Silindung) hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut.
Satu hal yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat sangsi secara adat.
Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini, namun marga-marga biasanya sering dihubungkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Simatupang merupakan perpaduan dari putranya marga Togatorop, Sianturi, dan Siburian yang ada di wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya yang secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan sebagainya.
[sunting] Tarombo
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tarombo
Silsilah atau tarombo merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai "orang Batak kesasar" (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Beberapa contoh artikel yang membahas tarombo dari marga-marga Batak yaitu:
• Silaban
• Raja Naipospos, yang mempunyai lima putera dan menurunkan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
• Si Opat Pusoran, yang menurunkan marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing
bentuk klan adalah berupa suatu kumpulan orang per orang yang mempunyai satu bapak dan bisa beberapa ibu, karena suku batak menganut parternalistik

Kesungguhan Hati dengan Allah

Tanggal: Senin, 21 April 2008
Topik: Firman Tuhan
Yosua 14:6-15 Iman Kaleb yang tidak goyah selama 45 tahun. Kaleb tetap percaya akan mendapatkan Hebron, tanah yang dijanjikan Allah. Jika Allah sudah menentukan sesuatu dalam kehidupan kita, Dia akan terus mengejar kita. Allah tidak melihat umur Kaleb yang sudah 85 tahun untuk merebut tanah Hebron di mana di sana ada bangsa raksasa suku Enak. Sama seperti Musa, di mana Allah memanggil dia untuk memimpin dua juta orang bangsa Israel keluar dari Mesir ketika Musa berumur 80 tahun. Allah lalu menyertainya dengan tanda dan mujizat.

Bilangan 13 Musa mengutus dua belas orang masing-masing dari dua belas suku untuk mengintai tanah Kanaan. Sepuluh orang kembali dengan laporan yang negatif karena mereka takut dengan penduduknya yang seperti raksasa dan mereka melihat diri mereka seperti belalang di hadapan orang Kanaan (Bilangan 13:33). Tetapi dua orang lagi, yaitu Yosua dan Kaleb mempunyai iman bahwa mereka bisa mengalahkan orang Kanaan dan merebut tanah Perjanjian tersebut. Yosua dan Kaleb tahu betul dan percaya bahwa tanah itu sudah di-berikan kepada mereka.

Ulangan 1:21 Ketahuilah, Tuhan Allahmu telah menyerahkan negeri itu kepadamu. Majulah, dudukilah, seperti yang difirmankan kepadamu oleh Tuhan, Allah nenek moyangmu. Janganlah takut dan janganlah patah hati. Allah sudah menyerahkan tanah Kanaan kepada bangsa Israel sebelum mereka mengirim dua belas pengintai. Hanya Kaleb dan Yosua yang percaya akan janji Allah dan memegang teguh janjiNya ini. Allah adalah setia. Jika Dia berjanji, Dia tidak akan mengingkarinya.

Bilangan 14:10 Segenap umat itu mengancam hendak melontari kedua orang itu dengan batu. Tetapi tampaklah kemuliaan Tuhan di Kemah Pertemuan kepada semua orang Israel. Bangsa Israel yang tidak percaya mengancam akan melontari Kaleb dan Yosua dengan batu ketika kedua orang ini mengajak umat Israel untuk maju merebut tanah Kanaan. Allah murka karena umat Israel tidak percaya akan janjiNya. Allah bangkit membela Kaleb dan Yosua dan akan melenyapkan umat Israel dan akhirnya Musa meminta kepada Allah untuk tidak melakukannya (Bilangan 14:11-20). Di sini kita dapat belajar dua hal. Pertama adalah bahwa Allah tidak suka kepada orang-orang yang tidak percaya kepadaNya, meskipun Allah sendiri sudah berjanji kepada mereka. Kedua, tentang pentingnya pendoa syafaat, yaitu orang yang bersedia berdoa memohon pengampunan atas orang lain. Dia berdiri di antara Allah dan orang-orang lain. Allah mendengar permohonan Musa dan mengabulkan permintaannya agar mengampuni bangsa Israel. Allah tergerak bukan karena bangsa Israel Tetapi karena permohonan Musa.

Bilangan 14:18 Tuhan itu panjang sabar dan kasih setiaNya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, Tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat. Dosa pemberontakan kepada Allah adalah tiga sampai empat turunan. Memang Allah adalah panjang sabar dan setia untuk mengampuni. Orang yang berdosa bisa saja diampuni, tetapi efek dosa pemberontakan itu ada. Itu sebabnya ada pelayanan pelepasan dan inner healing untuk mengatasi hal ini sampai tuntas ke akar-akarnya.

Ada juga orang Kristen yang tidak percaya akan janji-janji Allah sehingga Allah juga murka dengan mereka. Mereka adalah orang Percaya yang tidak percaya. Bahkan Yesus pernah menegur murid-muridNya karena ketidak percayaan mereka. Contohnya ketika ada angin ribut pada saat mereka di perahu, dan mereka ketakutan.

Bilangan 14:20-24 Bangsa Israel yang selalu bersungut-sungut dan tidak percaya akan janji Allah tidak diperkenankan masuk ke dalam Tanah Perjanjian, hanya Kaleb dan Yosua yang masuk. Sehingga generasi tersebut hanya berputar-putar di padang gurun selama 40 tahun sampai mati.

Mazmur 1:3 Ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya. Apa saja yang diperbuatnya berhasil. orang yang mengikuti Tuhan dengan segenap hati tidak akan pernah gagal, apa saja yang dikerjakan pasti berhasil; seperti Kaleb contohnya. Hanya dia dan Yosua dari generasinya yang diijinkan Allah masuk ke Tanah Kanaan.

Ulangan 28:12-14 Kita bisa menikmati janjiNya tentang berkat ini asal kita setia mengikut Dia dengan sepenuh hati. Allah akan mengangkat kita sebagai kepala bukan ekor.

2 Tawarikh 16:9 Tuhan melimpahkan kekuatanNya kepada mereka yang bersungguh hati dengan Dia. Memang persoalan dan musuh-musuh di depan kita bukan orang-orang bodoh, mereka memiliki kekuatan, benteng, dan apa saja yang mereka andalkan. Tetapi kita tidak perlu takut ketika melihat diri kita seperti belalang di hadapan mereka, dan kelihatannya kecil.

Allah senang dengan orang-orang yang bersemangat dan mempunyai inisiatif untuk melangkah merebut janji-janjiNya. Kunci mendapatkan kekuatan Allah adalah kesungguhan hati denganNya. Lakukan itu! Amen!!

Ingwer Ludwig Nommensen Riwayat Seorang Jerman di Tanah Batak

"..Sungguh pun mula-mula pekerjaannya amat susah dan dia sering ditimpa sengsara dan bahaya, bahkan dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata "si bottar mata..."

Jakarta - Kutipan di atas adalah tulisan dari Dr H Berkof dan Dr IH Enklaar yang diungkapkan untuk figur seorang Ingwer Ludwig Nommensen. Bottar mata dalam arti harafiah adalah mata putih, sekadar makna simbolik yang sebenarnya ditujukan pada tentara Belanda. Ungkapan kerasnya perjalanan seorang misionaris Jerman Nommensen ketika masuk dalam sebuah peradaban kebudayaan itu lama terpatri. Kutipan itu juga yang menjadi bahan ilustrasi adegan di dalam panggung teater dan tari yang dipergelarkan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jumat (26/9).


Latar panggung yang dipertahankan berupa panggung mulanya berisiko karena tak memperlihatkan landscape atau pemandangan tanah Batak. Namun dalam pementasan ini, semua bisa ditutup lewat tampilan pepohonan dan semacam gubug di panggung. Juga pengisian musik dan cahaya yang mampu mengisi suasana dialogis para aktor di atas panggung.


Ada Poltak Hutabarat yang memainkan dua peran, pertama Raja Panggalamei yang telah membunuh misionaris di tanah Batak, Lyman dan Munson. Kedua, Poltak juga memerankan Raja Panalangkup yang bertobat oleh kebajikan dari Ingwer Ludwig Nommensen. Tokoh utama, Nommensen, diperankan Arista Sinaga. Ada Liber Manullang dan Herman Situmorang yang memainkan Henry Lyman dan Samuel Munson, dua misionaris yang terbunuh sebelum misi Nommensen. Inilah tafsiran panggung atas catatan biografi seorang yang lahir pada 6 Februari 1834 di Nortdstrand, pulau kecil di perbatasan Denmark dan Jerman. Dikisahkan perjalanan dia ketika masuk ke Barus pada 23 Juni 1862 melalui Sibolga, setelah beberapa bulan dia menetap di Sipirok.


Persiapan pementasan yang cukup sempit, sebulan lebih, ternyata tetap membuat penampilan teaternya tetap terjaga. Kendati, peran Nommensen dan Johan von Elstrom kurang mengeluarkan cengkok (dialek) Belanda sebagaimana para pemeran tokoh Batak yang tak hanya berdialek namun juga mengeluarkan ungkapan spontan khas Batak, bagaimana si sutradara Oliver Sitompul menata akting para aktor, cukup memadai sehingga enak dilihat secara teaterikal.

Penuh Hikmat
Drama tari dan musik "Terpilih untuk Bersaksi" memaparkan kisah kasih karunia yang begitu besar dari bentuk kemerdekaan sejati dalam Nama Tuhan Yesus. Pertunjukan teatrikal tersebut mencakup dua babak perjuangan keimanan Nommensen dalam melakukan pelayanan bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus, dan pelayanan yang dilakukannya di tengah-tengah orang yang sudah mengenal Kristus, namun mengingkarinya. Seperti diketahui, Dr Ingwer Ludwig Nommensen adalah seorang misionaris berkebangsaan Jerman yang selama 57 tahun hingga akhir hidupnya (1862-1918), menjadi hamba Tuhan yang penuh hikmat.

Dia demikian sabar saat menghadapi masyarakat Batak yang berkarakter keras pada masa itu. Segala ancaman kematian tidak menyurutkan niat pelayanannya, di tengah kecurigaan Bangsa Batak ketika itu terhadap kedatangan kekuatan asing di wilayah mereka. Pementasan teatrikal "Terpilih untuk Bersaksi" menggambarkan sisi lain dari kekukuhan masyarakat Batak dalam menjaga martabat kebudayaan leluhur pada saat itu hingga sekarang. Melalui bagaimana Nommensen harus berdaya upaya mengajarkan pengetahuan Kristen dan pendidikan umum. Sejak mula pendekatannya, ia selalu mengajarkan pedoman cinta kasih yang manusiawi, tanpa melupakan dasar pemahaman kebudayaan Batak, tradisi setempat, dan kesukaan mayoritas penduduk terhadap musik.


Pemahaman iman Kristiani dan budaya leluhur, hingga kini menjadi identitas yang jelas bagi masyarakat Batak. Sebutlah, lahirnya Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP) sejak pertengahan Abad 19 membuktikan perkembangannya yang menarik sebagai gereja muda paling besar di dunia. Kesenyawaan utuh dari identitas keagamaan Kristen dan kelestarian budaya tersebut atau sejatinya terkait dengan Perayaan Pesta Paheheon Naposobulung berlangsung di Graha Bhakti Budaya. Kegiatan yang diprakarsai Naposobulung Huria Kristen Batak Prostestan (NHKBP) Ramawangun itu juga bertepatan dengan kalender tahun HKBP, yakni tahun marturia melalui seruan "Boan Sadanari". Bertajuk "Terpilih untuk Bersaksi", aktivitas keimanan ini sekaligus diproyeksikan dalam bentuk teatrikal kehidupan Dr Ingwer Ludwig Nommensen, saat ia pertama kali menyebarkan Injil di Tanah Batak.


Segala perjuangan tulus Dr Nommensen disimbolkan sebagai perenungan wujud karya nyata yang dilakukan Tuhan terhadap Bangsa Batak, yang merupakan bentuk pemilihan Tuhan terhadap Bangsa Batak untuk bersaksi. Refleksi panggilan tersebut dikaitkan dengan apa yang tertuang pada Filipi 3:14: "aku melupakan apa yang telah di belakangku, dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku". Suatu ungkapan panggilan iman yang senantiasa harus dimiliki umat Kristiani (Naposubulung Kristen) untuk menanggalkan pola kehidupan yang lama (sebelum mengenal Yesus Kristus seutuhnya) serta dapat memberikan pengaruh yang baik bagi sekitarnya. Sebab, Naposobulung dinilai tidak saja sebagai tunas bagi perkembangan gereja, namun juga sebagai media pembaharu yang seharusnya memiliki kesadaran, kepedulian, inisiatif, kreativitas dan etos kerja tinggi.


Namun sebaliknya, mereka menyadarari tentang naposobulung yang saat ini mengalami proses degradasi dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat. Salah satu contoh yakni pengenalan dan pengetahuan yang kurang dan bahkan cenderung meninggalkan budaya Bangsa Batak sebagai lambang identitas diri sebagai orang Batak.

“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr Ingwer Ludwig Nommensen)

Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?
Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu dalam melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.
Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun. Di masa muda Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Konon, animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Konon, pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.
Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul dan ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Akhirnya, ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.
Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Bangsa Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr H N Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.
Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.
Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.
Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Aman Dari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.
Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun batal melanjutkan perjalanan dan memutuskan agar kembali ke Silindung.
Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.
Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.
Misi zending tak berhenti sampai di sana, Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.
Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada.
Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.
Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.
Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.
Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.
Tercatat pula bahwa sejak tahun 1862 Nommesensen telah mendirikan gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar, Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Pansur Napitu, Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1914 di Ambarita; 1921 di Medan; dan 1922 di Jakarta.
Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.
Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.
Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.
Kini, Nommensen telah tiada, tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga…
Biodata:
Lahir : Nordstand, 6 Februari 1834
Sidi : Minggu Palmarum 1849
Pendidikan : 1857 – 1861 sekolah pendeta di Lembaga Pekabaran Injil Rhein RMG) Barmen, Jerman.
Ditahbiskan : Ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober pada 1861.
Awal penginjilan : Pada 24 Desember 1861 berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862.
Tiba di Tanah Batak : 23 Juni 1862
Jabatan penting : RMG Barmen mengangkatnya menjadi ephorus pada 1881.
Penghargaan : Gelar Honoris Causa diperoleh dari Universitas Bonn, Jerman pada 6 Februari 1904, tepat pada ulangtahunnya yang ke-70.
Wafat : Pada 23 Mei 1918 wafat dan dikebumikan di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.
Penulis, Tonggo Simangunsong (wartawan Harian Global.)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis “Napak Tilas Dr Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Batak”, Januari – 16 April 2007.